The Bravest Thing to Say
“What is the bravest thing you've ever said? asked the boy.'Help,' said the horse.'Asking for help isn't giving up,' said the horse. 'It's refusing to give up.”
sumber: Sam Branson |
Pagi ini, aku terbangun dengan perasaan hampa. Sepertinya aku bahkan nggak sadar berapa lama waktu kuhabiskan untuk menatap langit-langit kamar, sampai akhirnya ada beberapa panggilan masuk di ponselku. Begitu tersadar, semua hal yang terjadi sehari sebelumnya tiba-tiba muncul bergantian seperti kilas cepat sebuah film pendek. Lucunya, tidak ada air mata yang keluar. Aku nggak tahu apakah kantong air mata bisa kehabisan stok air mata atau memang aku sudah tidak punya tenaga untuk menangis—terutama mengingat semalam aku masih sibuk menangis hingga dini hari. Yang jelas, aku akhirnya memutuskan untuk bicara dengan seseorang, via suara. Selain karena aku sudah bertekad untuk tidak membuat orang lain khawatir, aku juga ingin memastikan apakah aku sudah bisa membicarakan hal kemarin tanpa meneteskan air mata—dan ternyata, aku bisa. Seharusnya itu pertanda baik, kan?
Setelah memastikan aku sudah baik-baik saja, aku turun dari kasur dan mulai beraktivitas—sambil berdoa supaya moisture kit dan masker yang semalam kupakai untuk menutupi eye bags telah berfungsi dengan baik. Sarapan, mencuci dan menjemur pakaian, serta beberapa kegiatan lain yang biasa aku lakukan di akhir pekan berjalan dengan lancar. Beberapa kali sempat kudengar lagu yang mengingatkanku padanya, tapi mataku tetap bergeming datar. Those feelings still linger, but were not strong enough to push me down. Menurutku itu pertanda baik, apalagi malamnya aku ada jadwal online meeting dengan teman-teman komunitas. Kalau perasaan kemarin benar-benar nggak muncul lagi, artinya kondisiku sudah cukup baik untuk berdiskusi saat rapat. Setidaknya, aku harap begitu.
Beberapa jam lalu, salah satu temanku bilang begini: "Recover atau nggak itu dari dalam diri sendiri, soalnya orang lain nggak bisa bantu. Jadi kalau kita bilang 'gampang recover', 'aku baik-baik saja', dan lain sebagainya, bisa jadi kekuatan buat diri sendiri juga!" —maka dengan mood yang bagus, aku tadi langsung duduk di depan komputer untuk bersiap rapat. Karena aku baik-baik saja. Setelah rapat pun, aku masih sempat chat dengan beberapa orang. Semuanya baik-baik saja.
Beberapa menit berselang, aku ingat kejadian sebulan lalu ketika aku berusaha coping dengan berita tentang NEWS. Waktu itu, rasanya lega sekali karena bisa menuangkan perasaan lewat tulisan. Jadi, tadi kuputuskan untuk membuka halaman blog dan menuliskan semua perasaan yang masih tersisa. Tapi entah kenapa, aku nggak bisa menulis apa pun. Bingung harus mulai dari mana, bagian mana yang harus aku tulis, dan seberapa banyak yang sebaiknya tetap aku simpan sendiri. Setelah berkali-kali mengetik dan menghapus, akhirnya kuambil sedikit jeda. Pada saat bersamaan, kebetulan salah seorang teman mengirimkan link tulisan teman sekelas 'dia' dengan tambahan kalimat pengingat: "jangan dibuka kalau belum siap ya" —karena aku merasa sudah baik-baik saja, jadi aku baca.
Sayang sekali, ternyata produksi air matanya sudah aktif lagi.
Maaf ya, tadinya aku bermaksud menulis tentang kejadian kemarin.
Entah bagaimana, aku malah jadi posting tentang kejadian hari ini. Dasar cengeng!
⚡️ “【the day he took a rest: 30 first thoughts I had after his 30 year-old self found peace】"https://t.co/FVDkPXvoFp
— ♠️☘️ R. J. ☘️♠️ (@jilansy) July 18, 2020
P.S. aku lupa kapan dan di mana, tapi aku ingat dia pernah bilang sesuatu yang mirip dengan quote di atas. Sebagai orang yang sebisa mungkin tidak meminta bantuan orang lain, waktu itu aku cukup kaget. Bisa dibilang, aku nggak punya keberanian semacam itu. I wonder if he had it though, he looks brave.
0 comments