Powered by Blogger.

[REVIEW] Wage (2017)

by - November 23, 2017

sumber: IMDb
JUDUL
Wage
TANGGAL RILIS
09 November 2017
DURASI
127 menit
PEMAIN
Rendra Bagus Pamungkas, Teuku Rifnu Wikana, Prisia Nasution, Woulter  Zweers, Putri Ayudya, Ricky Malau, Fery Sopyan, Pandoyo, Kedung de Romansa, Banon Gautama, Roy Santoso, Oim Ibrahim. Eky Lamoh, Eko Pertel, Peter van Luijk, Bra Makahekum, Koirul Ilyas Aryatama, Nio Soeprapto, dll.
SUTRADARA
John de Rantau
PRODUKSI
Opshid Media
GENRE
Drama, Biopik
RATING
SU

SINOPSIS
Lagu kebangsaan Indonesia Raya adalah simbol dan identitas bangsa semenjak mula pertama berkumandang bersamaan dengan bergemanya ikrar Sumpah Pemuda. Momentum 28 Oktober 1928 ini merupakan perwujudan dari kebangkitan kesadaran perlawanan terhadap penjajah secara nasional, yaitu kesadaran untuk melawan penjajah secara bersama-sama sebagai satu bangsa, Indonesia Raya, dan tidak lagi berbasis kedaerahan dan kesukuan maupun keagamaan. Daya pembangkit kesadaran kebangsaan yang terkandung dalam lagu Indonesia Raya dan Sumpah Pemuda, yang lahir bersamaan pada 28 Oktober 1928.

Aku harus ikut berjuang untuk kemerdekaan bangsa ini dengan lagu dan biolaku. Untuk itu, aku pun harus terlibat langsung dalam pergerakan kemerdekaan bangsa ini". Demikianlah semangat membara dalam diri seorang Wage Supratman, laki-laki kelahiran Somongari, Purworejo, 19 Maret 1903. Somongari tidak lain adalah desa yang diyakini dibuka oleh sisa-sisa laskar pasukan Pangeran Diponegoro, perdikan yang masih terus mengobarkan semangat perlawanan terhadap penindasan penjajah. Darah pejuang itu bisa jadi memberi semangat bagi Wage Supratman ketika memutuskan untuk meninggalkan segala kemewahan yang dimilikinya di Makassar dan kembali ke Jawa.
*******
sumber: kotatoeamagelang
Wage "Rudolf" Supratman banyak dikenal melalui gubahan lagu-lagu ciptaannya, seperti "Dari Barat sampai ke Timur", "Di Timur Matahari", "Ibu Kita Kartini", hingga yang paling terkenal: "Indonesia Raya". Selain dari lagu-lagunya, tidak banyak (atau bahkan bisa dibilang, hampir tidak ada) kisah terkenal yang aku dengar tentang beliau.

Awalnya, kudengar film biopik tentang W.R. Supratman ini konon diceritakan dalam bentuk noir. Menarik, bukan? Bagaimana mungkin seorang tokoh pahlawan bisa ditampilkan sebagai sosok anti-hero? Karena itulah film ini kemudian masuk ke daftar tontonanku bulan ini.

REVIEW
Awalnya agak kaget pas filmnya mulai diputar, suasana 'agamis'-nya cukup kental. Aku kurang familiar dengan Opshid Media tapi dari yang kulihat, mungkin mereka membawa semangat keagamaan dalam proses produksinya. Di luar itu semua, pemilihan font, penempatan credit, dan pengaturan scene-nya tampak jadul sesuai dengan latar waktu dan tempat film ini. Hanya saja, posternya tampak agak berantakan, jujur saja aku lebih suka poster yang ini:
sumber: mydirtsheet
SETTING
Latar tempat di film ini bisa dibilang cukup detail, benar-benar membangun suasana di tahun 1908-1938. Nggak heran sih karena katanya mereka sudah menggelontorkan belasan miliar untuk itu. Sayangnya, di beberapa bagian, latar tempatnya tidak diimbangi dengan penjelasan latar waktu. Sering kali tidak ada penjelasan mengapa Wage berpindah dari kota X ke daerah Y. Padahal katanya ini biopik, tapi selesai nonton pun aku masih ngawang soal perjalanan hidup si tokoh.
sumber: sumber
CAST
Salah satu hal yang paling menonjol di film ini adalah aktor pendatang baru, Rendra Bagus Pamungkas, yang memerankan tokoh Wage. Bisa dibilang, akting tokoh ini bersinar di setiap scene. Setelah kucoba cari info tentang pemerannya, ternyata Mas Rendra ini sudah sering bermain teater! Semoga ke depannya lebih banyak dilirik sineas-sineas lokal ya, biar pemeran tokoh bangsa nggak Reza Rahadian itu-itu melulu. 😄
sumber: indonesiadaily
Lawan mainnya, yaitu Teuku Rifnu Wikana yang memerankan tokoh Frits (kepolisian Belanda), pun nggak kalah bagus. Beliau sampai belajar Bahasa Belanda untuk memainkan perannya di film ini. Hampir setiap kali tokoh Fritz muncul, scene tampak lebih intens. Menurutku kalau memang film ini memang ingin membangun suasana noir, akan jauh lebih menarik kalau diceritakan dari sudut pandang Fritz sebagai tokoh anti-hero yang menaruh hormat pada Wage namun tetap setia pada pemerintahan Hindia-Belanda.

Selain kedua tokoh tersebut, sisanya lebih mengecewakan. Banyak sekali pemeran figuran yang membuat beberapa scene (terutama saat scene demonstrasi, bentrok, atau ribut di depan pejabat Hindia-Belanda) tampak off karena ekspresinya begitu datar. Di sisi lain juga ada beberapa pemeran yang seharusnya bisa 'dimanfaatkan' untuk membangun suasana tapi malah disia-siakan kehadirannya di dalam film, seperti Prisia Nasution dan Putri Ayudya yang ada atau nggak ada sebenarnya nggak pengaruh ke plot utamanya

PLOT
Balik lagi bahas soal noir, apanya yang noir? Dari scene pertama, penonton sudah disuguhi masa kecil Wage yang memprihatinkan: Wage yang dipukul karena suka menyanyi dan Wage yang di-bully di sekolah karena identitasnya sebagai pribumi. Cukup kelam memang, tapi Wage sama sekali bukan anti-hero, dan scene-scene setelahnya tidak ada yang sekelam itu. Jadi, apanya yang noir?

Oh iya, penonton juga disuguhi momen di mana Wage pertama kali diajari bermain biola. Oleh siapa? Tidak tahu. Tidak ada penjelasan siapa tokoh 'bule' yang mengajari Wage bermain biola. Awalnya, aku berasumsi bahwa itu adalah ayahnya. Cukup masuk akal kalau mengingat nama 'Rudolf' yang tiba-tiba ada di tengah nama lengkap Wage, bukan?
sumber: palingbaru
Ternyata aku salah. Begitu keluar dari bioskop, aku baru cari tahu tentang Wage. Kalau tidak salah, dulu kakak iparnyalah yang 'mengadopsi' Wage dan menyelipkan nama 'Rudolf' di tengah namanya supaya Wage bisa mendapatkan izin belajar di sekolah Belanda. Hal itulah yang kemudian juga menyebabkan Wage menjadi saran bully oleh teman-temannya: karena nama aslinya dalah Wage si pribumi, bukan Rudolf. Apakah film 'biopik' ini yang memberikanku pengetahuan itu? Bukan.

Selain itu, film ini sering membangun scene tanpa klimaks. Salah satu scene yang paling kuingat adalah scene saat para pemuda-pemudi Indonesia berkumpul untuk menentukan bahasa persatuan. Beberapa mengusulkan penggunaan bahasa Jawa karena banyak pemakainya, namun beberapa yang lainnya (khususnya yang dari timur) protes karena merasa tidak dianggap, belum lagi ada sekelompok pemuda-pemudi asal Sumatera yang mengusulkan penggunaan bahasa Melayu yang sudah banyak dipakai di luar negeri. Menurutku, scene ini harusnya intens.. tapi malah seperti dagelan karena setiap pemuda/pemudi hadir mengenakan baju adat. Halo, itu kongres pemuda atau fashion show? 😅
sumber: cendananews
Belum lagi momen saat lagu "Indonesia Raya" diperdengarkan saat kongres. Kita semua tahu saat belajar sejarah di bangku sekolah, bahwa pihak Belanda tidak mengizinkan lagu itu dinyanyikan saat kongres. Kemudian setelah berunding, akhirnya diputuskan bahwa lagu tersebut dapat diperdengarkan 'tanpa lirik'. Artinya, scene itu seharusnya menampilkan pertunjukan solo Wage memainkan nada lagu "Indonesia Raya". Sayangnya di saat aku sudah siap menghadapi momen sakral itu, tepat setelah Mas Rendra mulai menggesek biolanya, ada backsound lagu "Indonesia Raya". IYA, DENGAN LIRIK. Hilang sudah satu-satunya scene yang kuharap bisa menutupi segala kekurangan di film ini. Kalau memang Mas Rendra nggak terlalu jago main biola, kenapa nggak di-dubbing aja? Nggak paham sih, mungkin sutradaranya nggak yakin dengan kekuatan musik atau takut suasana jadi krik-krik kalau nggak disertai lagu aslinya.. (eh, sama aja ya?)

*******

Terlepas dari hal-hal yang kusebutkan, aku ingin menyukai film ini. Jelas sekali ada nilai kepahlawanan yang ingin diusung oleh pihak-pihak yang mengupayakan terciptanya film ini dan jelas pula bahwa proses pembuatannya tidak dilakukan dengan main-main, tapi mungkin karena terlalu fokus pada detail latar dan pemilihan pemeran kunci, alur ceritanya jadi kurang diperhatikan. Mari berprasangka baik, siapa tahu itu karena memang tidak banyak literatur tentang beliau 😇

Kalau boleh jujur, kurasa film ini lebih seperti drama teater. Perpindahan antar scene-nya tampak kasar dan malah tampak seperti perpindahan babak dalam drama teater. Kurasa akan sangat menarik kalau kisah hidup Wage Rudolf Supratman ini diadaptasi kembali dalam bentuk drama teater, apalagi kalau tokoh Wage kembali diperankan oleh Mas Rendra.

P.S. Yang pasti setelah menonton film ini, aku justru jadi ingin tahu lebih lanjut tentang W.R. Supratman. Memang nggak banyak, tapi aku menemukan artikel menarik di Rolling Stones. Not all heroes wear cape, this one 'brings' a violin ^_^

You May Also Like

0 comments