Kalian sudah berapa lama kerja/sekolah di rumah? Aku dari pertengahan Maret dan karena sudah diperpanjang tiga kali, masih berlanjut setidaknya hingga akhir April. Itu pun masih ada wacana untuk memperpanjang lagi. Selain kerjaan jadi lebih sedikit, nggak mungkin kan beneran setiap hari cuma rebahan nonton film atau serial? Nah, berhubung punya waktu cukup banyak, aku dan adikku memutuskan untuk 'menyingkirkan' barang-barang lama.
sumber: Émile Perron @ Unsplash |
Kenapa harus declutter?
Prinsipnya, kita sebaiknya hanya menyimpan barang yang masih terpakai. Sesuai kutipan di atas, fungsi barang adalah untuk digunakan —bukan sekadar disimpan karena 'sayang'. Yang disayang itu orang, bukan barang. Yang 'dipakai' itu barang, bukan orang. Setelah mulai decluttering, kurasa frasa itu cukup masuk akal. Beberapa kali aku menemukan benda yang kusimpan selama bertahun-tahun karena merupakan pemberian seseorang, mengingatkanku pada suatu hal, atau hasil kegiatan yang berkesan. Sayangnya, aku sudah lama tidak bertemu orang-orang yang berkaitan dengan benda itu. Aku punya kontak beberapa orang, tapi nggak terlalu sering komunikasi. Beberapa yang lainnya? Aku bahkan nggak tahu kabarnya. Perasaanku terhadap suatu benda ternyata nggak berbanding lurus dengan perasaanku terhadap orang terkait. Ini terdengar salah, bukan?
Ketika decluttering, kita akan teringat dengan banyak orang yang pernah singgah dalam hidup kita. Setiap kali mempertimbangkan suatu benda patut disimpan atau dibuang, aku mengingat orang-orang yang berkaitan dengan benda tersebut dan berusaha mengingat alasan kenapa aku menyimpannya. Pada saat bersamaan, aku pun terbawa nostalgia kejadian di masa lalu. Beberapa momen yang selama ini terlupakan, ternyata masih tersimpan cukup baik dalam memori. Setidaknya begitu yang kurasakan ketika memilah barang pemberian orang lain. Setelahnya, aku tinggal memikirkansiapa saja yang worth untuk dikontak dan bagaimana cara untuk menjalin komunikasi (lagi) dengan orang-orang tersebut.
Lain halnya ketika aku mulai declutter barang-barang pribadi, lebih mudah tapi jauh lebih tidak masuk akal. Misalnya ketika memilah pakaian lama yang sudah usang atau kehilangan kancing —alias sudah jelas layak buang, tapi belum tentu bisa disingkirkan semudah itu. Kalian punya baju yang simpel tapi 'gampang' dipakai? Celana yang belel tapi nyaman dipakai? Aku punya beberapa set pakaian yang seperti itu. Aku punya rok yang kubeli sewaktu SMA dan kadang masih kupakai untuk bertemu teman. Aku punya outer yang modelnya kusuka sejak kuliah dan masih jadi favoritku hingga saat ini. Aku punya sweater yang hampir tidak pernah kupakai, tapi masih kusimpan di lemari karena itu warisan dari kakekku. Barang-barang itu akhirnya berhasil aku 'singkirkan' dari lemari setelah temanku bilang, "Kamu inget nggak, pernah foto pakai baju ini pas SMA?" —tentu saja dia nggak bermaksud buruk, tapi pertanyaannya memaksaku untuk menghitung berapa umur pakaian yang saat itu sedang aku kenakan.
Prinsipnya, kita sebaiknya hanya menyimpan barang yang masih terpakai. Sesuai kutipan di atas, fungsi barang adalah untuk digunakan —bukan sekadar disimpan karena 'sayang'. Yang disayang itu orang, bukan barang. Yang 'dipakai' itu barang, bukan orang. Setelah mulai decluttering, kurasa frasa itu cukup masuk akal. Beberapa kali aku menemukan benda yang kusimpan selama bertahun-tahun karena merupakan pemberian seseorang, mengingatkanku pada suatu hal, atau hasil kegiatan yang berkesan. Sayangnya, aku sudah lama tidak bertemu orang-orang yang berkaitan dengan benda itu. Aku punya kontak beberapa orang, tapi nggak terlalu sering komunikasi. Beberapa yang lainnya? Aku bahkan nggak tahu kabarnya. Perasaanku terhadap suatu benda ternyata nggak berbanding lurus dengan perasaanku terhadap orang terkait. Ini terdengar salah, bukan?
Ketika decluttering, kita akan teringat dengan banyak orang yang pernah singgah dalam hidup kita. Setiap kali mempertimbangkan suatu benda patut disimpan atau dibuang, aku mengingat orang-orang yang berkaitan dengan benda tersebut dan berusaha mengingat alasan kenapa aku menyimpannya. Pada saat bersamaan, aku pun terbawa nostalgia kejadian di masa lalu. Beberapa momen yang selama ini terlupakan, ternyata masih tersimpan cukup baik dalam memori. Setidaknya begitu yang kurasakan ketika memilah barang pemberian orang lain. Setelahnya, aku tinggal memikirkan
Lain halnya ketika aku mulai declutter barang-barang pribadi, lebih mudah tapi jauh lebih tidak masuk akal. Misalnya ketika memilah pakaian lama yang sudah usang atau kehilangan kancing —alias sudah jelas layak buang, tapi belum tentu bisa disingkirkan semudah itu. Kalian punya baju yang simpel tapi 'gampang' dipakai? Celana yang belel tapi nyaman dipakai? Aku punya beberapa set pakaian yang seperti itu. Aku punya rok yang kubeli sewaktu SMA dan kadang masih kupakai untuk bertemu teman. Aku punya outer yang modelnya kusuka sejak kuliah dan masih jadi favoritku hingga saat ini. Aku punya sweater yang hampir tidak pernah kupakai, tapi masih kusimpan di lemari karena itu warisan dari kakekku. Barang-barang itu akhirnya berhasil aku 'singkirkan' dari lemari setelah temanku bilang, "Kamu inget nggak, pernah foto pakai baju ini pas SMA?" —tentu saja dia nggak bermaksud buruk, tapi pertanyaannya memaksaku untuk menghitung berapa umur pakaian yang saat itu sedang aku kenakan.
sumber: AZ Quotes |
Selain itu, ada juga beberapa pakaian dan tas yang masih bagus tapi hampir tidak pernah kupakai. Konon, fashion berkembang sesuai zaman. Tapi menurutku, selera fashion kitalah yang berubah-ubah entah karena pengaruh lingkungan atau karena mood harian. We own fashion, ya nggak sih? Ada masanya aku suka banget pakai long dress atau outer, tapi masa itu sudah lama berlalu. Jadi, untuk apa kusimpan?
Meskipun lebih berharga secara ekonomis, barang-barang yang tidak terlalu memiliki nilai emosional seperti ini lebih mudah untuk disingkirkan. Beberapa alasan yang bisa digunakan untuk memantapkan diri adalah (1) asas ruang —dengan menekankan perlunya ruang lebih untuk menyimpan barang lain yang lebih penting, (2) asas kebermanfaatan —dengan mendonasikannya ke pihak-pihak yang lebih membutuhkan, dan (3) asas ekonomi —dengan menjualnya di olshop atau garage sale.
Pada kegiatan decluttering kali ini, aku memanfaatkan garasi rumah untuk membagi barang-barang dalam 5 (lima) kategori: pakaian bekas, buku bekas, sampah elektronik, tas-tas bekas, serta botol dan kardus. Selain kelima hal tersebut, hanya ada tiga kategori yaitu boneka/mainan (langsung dihibahkan ke keponakan/sepupu kiciw), quran dan sajadah (yang langsung diberikan ke masjid/pesantren terdekat), dan sampah yang langsung dibawa pergi oleh pengepul sampah di daerah rumahku.
Untuk kategori pakaian bekas, ada satu kardus, satu karung, dan tiga kantong plastik. Cukup banyak, ya? Kategori tas-tas bekas juga cukup banyak: dua karung. Salah satu alasannya (mungkin) karena jumlah anggota keluargaku cukup banyak dan
Oh iya, declutter tahunan itu juga salah satu alasan kenapa buku bekas yang terkumpul hanya satu kardus. Kami terbiasa declutter buku pelajaran tiap tahun untuk disumbangkan atau dioper ke tukang sayur untuk jadi bungkus cabai, sedangkan buku bacaan belum pernah dipilah karena aku belum tega membuang mimpi untuk membuka taman bacaan. Berikutnya di kategori sampah elektronik, ada alat elektronik yang rusak dan baterai laptop yang sudah 'bocor' —sengaja dipisahkan karena nggak mungkin dibuang bareng sampah rumah tangga. Terakhir di kategori botol dan kardus, hasilnya memang tidak nampak di foto —karena sekitar dua ikat kardus dan tiga kardus berisi botol sudah dibawa ke rumah bude, kebetulan beliau memang sejak lama rajin mendaur ulang sampah sejenis itu.
sumber: Paweł Czerwiński @ Unsplash |
Hasil yang paling berkesan?
Sejujurnya ada banyak, tapi kali ini aku mau cerita tentang empat kaus yang menurutku sedikit banyak menyimpan kenangan tentang 'siapa aku'. Postingan ini nantinya juga akan kutunjukkan ke teman-teman yang punya kaus serupa. Iseng aja, cari topik untuk ngobrol lagi sekalian cari tahu apakah mereka masih menyimpan kaus masing-masing.1. Kaus Panitia HAMKA
Orang bilang, SMA adalah masa yang paling menyenangkan dan bangku kuliah adalah tempat kita belajar berorganisasi. Buatku nggak, masa SMA adalah masa berorganisasi. Pulang sekolah jam dua siang, tapi aku bisa di sekolah sampai jelang magrib (waktu itu azan magrib adalah curfew untuk tiba di rumah, jadi biasanya aku buru-buru naik ojek begitu terdengar 'bacaan-bacaan' dari toa masjid sekolah). Alasan paling utama tentu karena urusan ekstrakurikuler di sekolah, kebetulan aku jadi BPH (Badan Pengurus Harian) di dua klub —salah satunya KANSAS, alias Kantin Sastra.
Kaus Kepanitiaan HAMKA (2010) |
Hal itu kurasa cukup membantu ketika duduk di bangku perkuliahan. Meski
pas banget lagi technical meeting hamka!— ♠️ 🍀 ❒ ❥▼❍ R.J. ❒ ❥▼❍ 🍀 ♠️ (@jilansy) July 21, 2019
UDAH SEBELAS AJA HEY, padahal angkatanku generasi pertama pengurus kantin sastra hamka buat eksternal (internalnya diinisiasi angkatan sebelumnya) pic.twitter.com/CGzLiOUYWx
2. Kaus 'Save The Earth' ala "Bloody Monday"
Kalau pernah nonton serial Jepang yang berjudul Bloody Monday (2008), kalian pasti tahu jargon 'save the earth' khas Takagi Fujimaru (Miura Haruma) dan Kujo Otoya (Sato Takeru). Dulu serial ini nge-tren banget loh, awal mula karier cemerlang duo Haru-Take. Setidaknya, kalian pernah dengar tentang film live action "Rurouni Kenshin / Samurai X (2012)" kan? Nah, Sato Takeru adalah nama aktor yang memerankan Kenshin Himura, si tokoh utama. Nama Haruma Miura sebenarnya sudah kukenal sebelumnya dari Ima Ai ni Yukimasu (2005), 14 Sai no Haha (2006), dan Koizora (2007) —tapi seingatku, serial inilah yang memulai kebucinanku. Setelah Season 2 tayang, aku dan dua temanku memutuskan untuk membuat kaus replika
Kaus Bloody Monday (2010) |
Kaus ini dibuat ketika aku masih duduk di bangku perkuliahan, sekitar tahun 2014. Aku lupa tepatnya, tapi yang jelas sih aku buat kaus ini bersama tiga orang lainnya. Waktu itu, kami berempat admin Komunitas NEX yang memutuskan untuk buka booth di salah satu festival budaya Jepang yang cukup besar di Jakarta. Kebetulan, kami punya member favorit yang berbeda. Empat anggota boyband untuk empat admin komunitas. Karena itulah desain bagian depannya bergambar logo komunitas dan bagian belakangnya berisi logo/inisial dan nama member favorit. Berhubung sekarang jajaran adminnya sudah berganti, aku hayuk aja kalau mau buat kaus baru untuk anggota komunitas —tentu saja dengan logo yang lebih besar ya!
Kaus Admin NEX (2014) |
Kalau yang satu ini, aku yakin 99,99% akan dimarahi member SFC. Membernya cuma empat sih, tapi kayaknya baju ini 'kembar' sama Nomura Shuhei ya? Aku lupa dulu nyablon empat atau lima kaus. SFC ini bukan komunitas fanclub resmi, cuma kami buat untuk menyambut kedatangan Shuhei ke Indonesia pada November 2016 lalu. Bukannya sekarang udah nggak sayang Shuhei sih, tapi... aku mengembang, kausnya sudah kekecilan buatku (╥_╥)
Kaus #MenujuShuhei (2016) |
*******
Btw, sekian dulu ceritaku tentang kegiatan decluttering di rumahku kali ini. Bagi yang butuh tips melakukan decluttering di rumah, setelah ini aku berencana menulisnya dalam ulasan film Thailand "Happy Old Year" yang berkisah seputar kegiatan decluttering —dan kebetulan baru kutonton kemarin.
p.s. kalau ada yang tahu padanan kata yang tepat untuk decluttering, tolong beritahu aku ya (:
beberapa hari kemarin aku habis decluttering many things, terus barusan nonton happy old year... jadi merasa declutter-ku cuma proyek abal. pic.twitter.com/0NMyB708Fd— ♠️ 🍀 ❒ ❥▼❍ R.J. ❒ ❥▼❍ 🍀 ♠️ (@jilansy) April 13, 2020